KLIKINAJA – Dua guru SMA di Kabupaten Luwu Utara, Rasnal dan Abdul Muis, resmi diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) sebagai ASN. Keduanya sebelumnya dinyatakan bersalah dalam kasus pungutan dana Rp20 ribu dari orang tua murid yang digunakan untuk membayar gaji guru honorer yang terlambat hingga 10 bulan.
Kasus ini bermula pada 2018. Saat itu Rasnal menjabat sebagai Kepala SMAN 1 Luwu Utara, sementara Abdul Muis sebagai bendahara komite sekolah. Karena prihatin dengan kondisi guru honorer yang belum digaji, keduanya bersama komite sekolah mengusulkan iuran sukarela Rp20 ribu dari orang tua siswa.
Namun, kebijakan tersebut dilaporkan oleh salah satu LSM ke polisi dengan tuduhan korupsi. Proses hukum berlanjut hingga Mahkamah Agung, yang kemudian memvonis keduanya satu tahun penjara. Berdasarkan putusan inkrah itu, Gubernur Sulsel mengeluarkan SK pemecatan ASN terhadap keduanya—Rasnal per 21 Agustus 2025 dan Abdul Muis per 4 Oktober 2025.
Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyayangkan keputusan tersebut. Menurutnya, sanksi seharusnya bersifat pembinaan, bukan pemecatan.
“Ada sesuatu yang keliru. Ini mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan. Gubernur seharusnya bisa lebih bijak dan berempati,” ujarnya, Rabu (12/11).
PGRI bersama kedua guru itu berencana mengajukan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto agar keduanya diampuni dan dapat dikembalikan statusnya sebagai ASN.
“Kami memohon kepada Bapak Presiden agar memberikan grasi dengan alasan kemanusiaan,” tambah Ismaruddin.
Sementara itu, mantan anggota Komite Sekolah, Supri Balantja, menegaskan bahwa iuran Rp20 ribu tersebut merupakan kesepakatan bersama tanpa paksaan.
“Wali murid sendiri yang mengusulkan agar sumbangan diganti menjadi Rp20 ribu. Tidak ada paksaan,” jelasnya.
Supri menyebut kasus ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin hak-hak guru.
“Ini bentuk kegagalan negara membiayai pendidikan, hingga kehormatan guru seolah diabaikan,” katanya.
Menanggapi polemik ini, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel Iqbal Nadjamuddin menyatakan, keputusan PTDH merupakan konsekuensi dari putusan hukum tetap.
“Pemprov hanya menjalankan aturan. Ketika ASN divonis bersalah secara hukum, maka berlaku Undang-Undang ASN,” tegasnya di Makassar, belum lama ini.(Tim)









