KLIKINAJA, JAMBI – Persidangan perdana dugaan korupsi proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) Kabupaten Kerinci bernilai Rp 5,9 miliar resmi digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jambi, Senin (24/11/2025).
Sebanyak 10 terdakwa dari unsur pejabat Dinas Perhubungan hingga pihak rekanan dihadirkan untuk mendengarkan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sungai Penuh.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tatap Urisima Situngkir itu menjadi perhatian publik setelah JPU memasukkan nama 12 anggota DPRD Kerinci periode 2019–2024 dalam surat dakwaan. Mereka disebut menerima aliran dana dari proyek PJU tahun anggaran 2023.
Dugaan Awal Kasus Berangkat dari Proyek PJU 2023
Dalam dakwaan, JPU menjelaskan kasus bermula ketika Dishub Kerinci mengelola anggaran Rp 5,9 miliar untuk pengadaan komponen penerangan jalan. Pada awal tahun, DPA Murni menunjukan nilai Rp 3,4 miliar, sementara proses penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dilakukan hanya berdasar RAB internal tanpa mempertimbangkan perhitungan konsultan yang menggunakan harga pasar.
Heri Cipta selaku Kepala Dishub yang merangkap PPK, bersama PPTK Nael Edwin, disebut mengajukan paket pekerjaan ke pejabat pengadaan Yuses Alkadira Mitas. Surat permintaan tersebut dilampiri daftar ruas jalan dan perusahaan yang telah “diarahkan.”
Pertemuan dengan DPRD dan Usulan Daftar Perusahaan
Perkara ini menguat setelah Heri Cipta dipanggil Plt Sekwan Jondri Ali ke ruangannya untuk bertemu Ketua DPRD Kerinci, Edminuddin. Pertemuan yang juga dihadiri 11 anggota DPRD lainnya tersebut membahas bahwa proyek PJU merupakan bagian dari pokok-pokok pikiran (pokir) dewan.
Dalam kesempatan itu, para legislator menyerahkan daftar perusahaan yang mereka minta ditunjuk mengerjakan proyek di sejumlah wilayah Kerinci. Setelah itu, Heri Cipta dan Nael Edwin meminta proses pengadaan dilakukan dengan metode penunjukan langsung, bukan tender.
Yuses kemudian mengundang perusahaan-perusahaan yang telah tercantum dalam daftar pokir tersebut untuk mengikuti proses administrasi.
Penyerahan Data Perusahaan dan Pengaturan Harga
Menurut JPU, sejumlah direktur perusahaan seperti Fahmi, Sarpono Markis, Jefron, dan Amril Nurman diminta menyerahkan data perusahaan bersama ID dan password kepada pegawai honorer UKPBJ Kerinci bernama Haidi. Proses itu disertai pemberian uang Rp 300 ribu per paket.
Haidi kemudian mengunggah dokumen penawaran berdasarkan berkas yang sudah disiapkan Nael Edwin. Pengaturan harga dilakukan agar perusahaan dapat membeli komponen PJU di bawah nilai kontrak sehingga menghasilkan selisih keuntungan.
Selisih itulah yang disebut menjadi sumber aliran dana yang mengalir ke sejumlah pihak, termasuk anggota DPRD.
12 Anggota DPRD Kerinci yang Disebut Menerima Fee 15%
Dalam dakwaan, JPU menyebutkan 12 anggota DPRD Kerinci menerima fee 15 persen dari nilai kontrak yang disebut sebagai “jatah pokir.” Berikut orang-orangnya diantaranya adalah Edminuddin, Amrizal, Asril Syam, Boy Edwar, Irwandri dan Joni Efendi. Kemudian, Jumadi, Mukhsin Zakaria, Novandri Panca Putra, Erduan, Syahrial Thaib dan Yudi Herman.
Daftar ini menjadi salah satu poin paling mencolok dalam dakwaan JPU karena menunjukkan dugaan keterlibatan unsur legislatif dalam proses pengaturan proyek.
Jaksa menilai praktik tersebut menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan daerah.
Sidang perkara ini akan kembali berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi dari berbagai unsur, termasuk birokrasi, perusahaan, dan legislatif. Publik menunggu perkembangan sidang karena kasus PJU 2023 dinilai menjadi salah satu skandal terbesar yang melibatkan pejabat Kabupaten Kerinci dalam beberapa tahun terakhir.(Dea)









