KLIKINAJA – Banjir bandang dan tanah longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada pekan lalu. Para pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan BMKG menilai rangkaian bencana ini dipicu faktor geologi labil, rusaknya ekosistem hutan, serta meningkatnya intensitas hujan akibat perubahan iklim.
Kerentanan Sumatera dan Pengaruh Bentang Alam
Pulau Sumatera kembali berada dalam sorotan usai bencana hidrometeorologis menghantam berbagai wilayahnya. Peristiwa ini mengulang pola serupa yang terus terjadi setiap musim hujan, terutama pada kawasan yang berada di kaki-kaki pegunungan.
Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Hatma Suryatmojo, menjelaskan bahwa kondisi geomorfologi Sumatera membuat wilayah ini rentan mengalami banjir besar. Banyak kawasan permukiman berdiri di area kipas vulkanik yang secara alami menjadi tempat berkumpulnya aliran air dari lereng-lereng terjal.
Ia menuturkan, saat hujan intens turun, air dari dataran tinggi mengalir sangat cepat ke dataran rendah dan membawa material dalam jumlah besar. Kombinasi faktor topografi ini membuat banjir bandang sulit dihindari tanpa penataan ruang yang ketat.
Kerusakan Lingkungan di Hulu Perparah Bencana
Selain faktor alamiah, kerusakan ekologis turut memperburuk kondisi. Hatma mengungkapkan bahwa pembukaan lahan, alih fungsi hutan, dan perluasan kawasan permukiman di wilayah hulu telah menghilangkan kemampuan tanah menahan air.
Menurutnya, hutan berperan signifikan dalam menyerap dan menahan air hujan. Pada kondisi normal, sebagian air tertahan di tajuk pohon dan sisanya meresap ke tanah. Namun ketika tutupan vegetasi hilang, seluruh air langsung mengalir menuju sungai pada waktu bersamaan, sehingga debit puncak meningkat dengan cepat.
Hatma mengingatkan bahwa praktik-praktik yang merusak ekologi harus dihentikan. Ia menyebutkan bahwa tanpa pemulihan lingkungan di hulu, risiko banjir akan terus meningkat setiap tahun.
Dampak Perubahan Iklim dan Peningkatan Hujan Ekstrem
Risiko bencana di Sumatera semakin diperbesar oleh perubahan iklim. Mantan Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, menilai peningkatan suhu global yang telah mencapai 1,55 derajat Celsius kini memicu hujan ekstrem jauh lebih sering dibandingkan dekade sebelumnya.
Dwikorita menjelaskan, curah hujan harian yang mencapai ratusan milimeter sulit ditampung oleh sistem hidrologi di sebagian besar wilayah Sumatera. Jika pemanasan global terus berlanjut dan mencapai lebih dari 3 derajat Celsius pada akhir abad, intensitas bencana diperkirakan akan meningkat drastis.
Ia menyampaikan peringatan keras bahwa tanpa mitigasi berbasis ekologi, kerusakan lingkungan akan berlangsung lebih cepat dibanding upaya perbaikannya.
Geologi Labil dan Ancaman Longsor Berulang
Kondisi geologi Sumatera turut memperbesar ancaman. Dwikorita memaparkan bahwa struktur batuan di pulau tersebut banyak memiliki rekahan akibat tabungan tumbukan lempeng sejak masa lampau. Retakan ini membuat tanah mudah bergerak, terutama setelah terjadi gempa, meski dengan magnitudo kecil.
Longsoran material yang menutup jalur sungai juga sering membentuk bendungan alami. Bendungan ini dapat jebol sewaktu-waktu dan memicu banjir bandang yang lebih besar di hilir.
Siklon Tropis Muncul di Luar Pola Normal
Fenomena atmosfer lain yang turut memicu bencana adalah meningkatnya siklon tropis yang terbentuk di sekitar Indonesia. Siklon yang seharusnya jarang memasuki wilayah tropis kini lebih sering muncul dan bahkan melintasi daratan.
Dwikorita menyebut fenomena seperti Siklon Senyar sebagai contoh anomali cuaca terbaru. Siklon tersebut tumbuh di wilayah yang biasanya tidak memungkinkan dan bergerak hingga mencapai Semenanjung Malaya. Kejadian ini menunjukkan perubahan pola siklon yang semakin sulit diprediksi.
Ia menilai, kemunculan siklon-siklon baru dengan perilaku tidak lazim merupakan indikasi kuat bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi dinamika atmosfer kawasan Indonesia.
Perlu Mitigasi Menyeluruh
Rangkaian bencana yang terjadi di Sumatera menunjukkan keterhubungan antara kerusakan lingkungan, kondisi geologi labil, dan perubahan iklim. Para ahli menekankan perlunya penataan ruang yang lebih ketat, pemulihan hutan, serta penguatan sistem peringatan dini untuk mengurangi risiko bencana di masa mendatang.(Tim)









