KLIKINANJA – Tahu arab kembali ramai dibahas setelah videonya beredar luas di TikTok. Makanan tradisional berbahan dasar darah hewan ini memunculkan pertanyaan publik: aman dan halal dikonsumsi atau tidak?
Fenomena tersebut bermula dari unggahan seorang kreator dengan akun Bangtarjovlog yang membeli tahu arab di Pasar Paing, Bojonegoro. Videonya menuai perhatian besar, memperoleh puluhan ribu suka dan ribuan komentar dari warganet. Banyak di antara mereka yang baru mengetahui keberadaan makanan tersebut, sementara sebagian lainnya memperdebatkan hukumnya dalam Islam karena terbuat dari darah.
Apa Itu Tahu Arab?
Meski disebut “tahu”, makanan ini sama sekali tidak mengandung kedelai. Tahu arab yang juga dikenal dengan nama dideh, marus, atau saren di beberapa daerah—merupakan makanan tradisional yang dibuat dari darah sapi atau ayam yang didinginkan hingga mengeras, kemudian dikukus.
Menurut informasi dari Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, teksturnya cukup padat dengan warna merah kehitaman, menyerupai hati sapi. Namun, struktur keduanya berbeda. Hati memiliki serat yang lebih kasar, sementara marus lebih empuk, sedikit berongga, dan cenderung lembut saat digigit. Soal rasa, sebagian orang menyamakannya sebagai campuran antara hati dan daging yang belum sepenuhnya matang.
Keunikan bahan baku dan bentuknya membuat banyak pengguna TikTok penasaran. Namun, rasa ingin tahu itu berubah menjadi perdebatan setelah muncul pertanyaan tentang status kehalalan makanan tersebut.
Bagaimana Hukum Mengonsumsi Tahu Arab?
Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halalan Thayyiban milik Muhammadiyah menegaskan bahwa darah—baik yang masih cair maupun yang sudah mengeras—masuk dalam kategori bahan yang diharamkan dalam Islam. Ketentuan tersebut disebut secara jelas dalam Al-Qur’an surah Al-Mā’idah ayat 3:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas nama Allah…”
Dengan demikian, meskipun darah hewan diproses sedemikian rupa hingga menyerupai olahan makanan lain, hukumnya tetap najis dan tidak boleh dikonsumsi oleh umat Muslim. Artinya, popularitas atau tampilan menarik makanan tersebut tidak mengubah status dasarnya.
Mispersepsi soal Nama “Tahu Arab”
Nama “tahu arab” kerap dianggap berasal dari budaya Timur Tengah atau identik dengan kuliner masyarakat Muslim. Padahal, penamaannya tidak berkaitan sama sekali dengan tradisi Arab. Kesalahpahaman inilah yang kerap menyesatkan konsumen, terutama bagi mereka yang tidak mengetahui bahwa bahan dasarnya adalah darah.
Fenomena viral ini sekaligus menunjukkan bahwa nama makanan bisa memberi persepsi keliru. Karena itu, penting bagi konsumen untuk memahami asal-usul bahan yang digunakan sebelum memutuskan untuk mencobanya.
Tips Memastikan Kehalalan Makanan
Di tengah maraknya tren kuliner yang muncul dari media sosial, umat Muslim disarankan lebih selektif dalam memilih makanan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
Periksa bahan dan proses pengolahan sebelum membeli atau mencicipi makanan baru.
Pilih produk yang memiliki sertifikat halal resmi dari BPJPH.
Tidak mudah mengikuti tren viral tanpa memahami kandungan dan proses pembuatannya.
Popularitas suatu makanan, termasuk makanan tradisional yang dianggap unik, tidak serta-merta menjadikannya halal. Bahan dasar tetap menjadi penentu utama.
Tahu arab mungkin menarik perhatian karena tampilannya yang unik dan sejarahnya sebagai makanan tradisional. Namun, karena dibuat dari darah hewan, makanan ini jelas tidak memenuhi ketentuan halal menurut ajaran Islam. Fenomena ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat untuk tetap teliti dalam memilih makanan, terutama yang sedang populer di dunia maya.(Tim)









