KLIKINAJA – Letusan Gunung Hayli Gubbi di Ethiopia setelah lebih dari 12.000 tahun tidak aktif menarik perhatian pakar vulkanologi, termasuk peneliti ITB Mirzam Abdurrachman, yang mengingatkan potensi bahaya gunung api dormant di Indonesia.
Gunung Api Bangkit Setelah 12.000 Tahun, Pakar ITB Angkat Suara
Aktivitas erupsi Gunung Hayli Gubbi mengejutkan komunitas ilmiah internasional. Gunung yang lama dianggap tidak berpotensi meletus itu tiba-tiba menunjukkan aktivitas eksplosif, memicu kajian ulang terhadap gunung api dormant di berbagai negara.
Dari Bandung, peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman menilai peristiwa ini menjadi alarm penting bagi negara seperti Indonesia yang memiliki ratusan gunung api.
Mirzam menjelaskan bahwa klasifikasi gunung api tidak bisa dilihat hanya dari lamanya waktu tanpa erupsi. Menurutnya, dunia vulkanologi mengenal tiga kategori utama: aktif, dormant, dan padam (extinct). Namun, batas di antara ketiganya tidak selalu tegas.
Ia menyebutkan, gunung api digolongkan aktif apabila pernah meletus sejak periode Holosen, sekitar 11.650 tahun terakhir. Meski tidak sedang erupsi, sistem magmanya umumnya masih dinamis.
Dormant Tidak Berarti Aman
Kategori dormant, menurut Mirzam, merujuk pada gunung api yang sudah lama tidak meletus tetapi tetap menyimpan potensi. Contoh nyata adalah Gunung Sinabung yang kembali bergolak pada 2010 setelah sekitar 400 tahun tidak menunjukkan aktivitas berarti. Kasus Hayli Gubbi di Ethiopia juga memperlihatkan bahwa dormansi puluhan ribu tahun pun bukan jaminan keamanan.
“Kedua peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa gunung api dormant bisa kembali aktif kapan saja,” ujarnya.
Di dalam kategori dormant, terdapat subkelompok restless volcano, yaitu gunung api yang tampak tenang tetapi memiliki pergerakan magma di bawah permukaan. Di Indonesia, jenis ini diklasifikasikan sebagai gunung api tipe B.
Jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan data yang disampaikan Mirzam, sedikitnya terdapat 30 gunung api tipe B yang tersebar di Sumatra, Jawa, Bali–Nusa Tenggara, hingga Maluku.
Gunung Api Extinct dan Contoh Kasusnya
Sementara itu, gunung api extinct merupakan kategori yang dianggap paling tidak berisiko. Sistem magmanya sudah tidak aktif dan tidak memiliki suplai baru. Gunung Thielsen di Oregon serta Gunung Baluran di Jawa Timur termasuk dalam kelompok ini.
Walau demikian, Mirzam menegaskan bahwa pemahaman publik mengenai ketiga kategori tersebut sangat penting, terutama bagi wilayah yang berada pada jalur cincin api.
Indonesia Punya 127 Gunung Api
Indonesia termasuk negara dengan gunung api terbanyak di dunia. Dari total gunung api global, sekitar 16 persen berada di wilayah Indonesia, dengan jumlah mencapai 127 gunung api.
Kondisi ini semakin berisiko karena banyak masyarakat tinggal di area rawan. Secara global, sekitar 350 juta orang hidup dalam radius 30 kilometer dari gunung api aktif atau berpotensi aktif. Dari jumlah tersebut, 29 juta berada dalam jarak kurang dari 10 kilometer dari kawah.
Minim Pemantauan Jadi Tantangan Besar
Mirzam mengingatkan bahwa lebih dari separuh gunung api di dunia belum memiliki sistem pemantauan memadai. Situasi ini membuat potensi erupsi gunung dormant sulit diprediksi.
Ia mencontohkan dua kejadian besar: letusan El Chichón di Meksiko pada 1982 dan kebangkitan Sinabung yang menimbulkan dampak sosial-ekonomi signifikan. Keduanya menjadi bukti bahwa gunung api dormant perlu dipantau secara berkelanjutan.
Pentingnya Edukasi dan Kesiapsiagaan
Di akhir penjelasannya, Mirzam menekankan perlunya meningkatkan literasi masyarakat terkait dinamika gunung api.
Menurutnya, pemahaman yang baik akan membantu masyarakat beradaptasi dan hidup berdampingan dengan risiko di kawasan ring of fire. “Mengenal karakter gunung api adalah kunci untuk mengurangi dampak bencana,” tuturnya.(Tim)









