KLIKINAJA, JAKARTA – Pemerintah kembali menyoroti isu perpajakan atas pesangon dan dana pensiun setelah muncul protes dari para pekerja yang terkena pensiun maupun pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam pernyataan terbarunya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pihaknya akan mendalami keberatan tersebut meski gugatan para pekerja telah dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Purbaya menyampaikan hal itu dalam agenda Media Briefing di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, pada Jumat (14/11). Ia mengaku memahami keresahan para pekerja mengenai beban pajak yang dikenakan pada pesangon maupun dana pensiun, terutama bagi mereka yang harus menghadapi masa transisi setelah tidak lagi bekerja.
“Kami akan pelajari secara menyeluruh persoalan pajak pesangon pensiun dan PHK ini,” ujar Purbaya saat menjawab pertanyaan wartawan. Menurutnya, pemerintah tetap membuka ruang evaluasi agar regulasi perpajakan berjalan adil bagi masyarakat.
Gugatan yang diajukan puluhan pekerja bank swasta tersebut awalnya ditujukan untuk menghapus pengenaan pajak atas uang pensiun, pesangon, tabungan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT). Para pemohon menilai objek pajak tersebut merupakan hak normatif yang diterima setelah puluhan tahun bekerja, sehingga tidak selayaknya dipersamakan dengan penghasilan baru.
Namun, upaya hukum tersebut terhenti setelah MK menolak permohonan uji materi Perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025. Berdasarkan putusan yang diunggah di laman resmi MK pada Jumat (14/11), majelis hakim menyatakan permohonan itu tidak jelas atau kabur (obscuur libel), sehingga tidak dapat diterima.
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan, majelis tidak melanjutkan pemeriksaan pokok perkara karena pemohon tidak merumuskan argumentasi secara spesifik. Ia menyebut, setelah menelaah Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang digugat, tidak ditemukan frasa “tunjangan dan uang pensiun” seperti yang diklaim para pemohon. Yang ada adalah kata “tunjangan” dan frasa “uang pensiun” yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak dalam satu rangkaian.
“Karena permohonan para pemohon kabur, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum maupun substansi permohonan lebih lanjut,” ungkap Suhartoyo dalam putusannya.
Perkara tersebut awalnya diajukan sembilan pekerja bank swasta, kemudian bertambah menjadi 12 orang termasuk seorang ketua serikat pekerja. Mereka berasal dari beberapa bank yang berbeda, tetapi memiliki kepentingan yang sama terhadap peninjauan ulang aturan perpajakan pada pesangon dan manfaat pasca-kerja lainnya.
Para pemohon menilai ketentuan perpajakan saat ini menyamakan pesangon dan dana pensiun—yang mereka sebut sebagai hak dasar pekerja—dengan penghasilan tambahan yang muncul akibat kegiatan ekonomi. Menurut mereka, pendekatan tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan atau memasuki masa pensiun.
Meski gugatan mereka gagal, diskusi mengenai skema perpajakan atas pesangon dan dana pensiun diperkirakan masih akan berlanjut. Pasalnya, persoalan ini menyangkut kelompok pekerja yang jumlahnya besar dan berada dalam kondisi finansial yang rentan.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memastikan akan meninjau kembali keluhan masyarakat sambil mempertimbangkan dampak fiskal serta keberlanjutan regulasi perpajakan yang berlaku. Proses evaluasi ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih jelas dan mudah dipahami oleh publik.
Isu pajak pesangon dan dana pensiun kini menjadi sorotan publik setelah putusan MK. Pemerintah berjanji menelaah ulang regulasi agar sejalan dengan kebutuhan pekerja sekaligus tetap menjaga landasan hukum perpajakan yang berlaku.(Tim)









