KLIKINAJA, KERINCI – Banjir dan longsor yang terjadi di sejumlah daerah di Sumatera beberapa pekan lalu kembali menyoroti kerusakan ekologis yang semakin luas. Aktivitas pembukaan lahan, perluasan permukiman, dan alih fungsi hutan dinilai menjadi faktor utama meningkatnya potensi bencana di wilayah tersebut.
Pemerhati lingkungan sekaligus Manajer Biodiversity and Wildlife Perkumpulan Wahana Mitra Mandiri, Chua Josse, menyebut tekanan terhadap ekosistem hulu kini juga mengancam Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Ia menilai perubahan tutupan lahan di dataran tinggi perlu mendapat perhatian serius pemerintah daerah.
“Kawasan Kayu Aro dan Siulak yang menjadi hulu aliran air Kerinci dan Sungai Penuh mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Lereng Gunung Kerinci yang sebelumnya ditutupi hutan sekunder dan primer kini semakin banyak dialihkan menjadi lahan pertanian masyarakat,” ujar Josse.
Menurut Josse, meski tidak sebesar alih fungsi lahan di Sumatera Utara maupun Sumatera Barat yang didorong ekspansi perkebunan skala besar, perubahan di Kerinci tetap memiliki dampak ekologis yang nyata. Ia menjelaskan bahwa hilangnya vegetasi alami membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air sehingga meningkatkan limpasan di permukaan.
“Alih fungsi lahan untuk pertanian sekalipun tetap memberi tekanan pada daerah tangkapan air. Saat curah hujan tinggi, tanah tidak lagi mampu menyerap air secara maksimal,” jelasnya.
Josse juga mengungkapkan bahwa perubahan penggunaan lahan tidak hanya terjadi di luar kawasan hutan negara seperti Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan kawasan Hutan Produksi (HP), tetapi juga merambah ke wilayah perkebunan masyarakat. Kondisi ini, kata dia, menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah dalam menata kembali pengelolaan ruang.
Ia menegaskan perlunya sosialisasi yang lebih intens kepada petani dan pekebun agar memahami risiko ekologis dari alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Menurutnya, edukasi mengenai praktik pertanian berkelanjutan penting diterapkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan di kawasan hulu.
“Jika tata ruang tidak diperbaiki dan pengawasan tidak diperketat, ancaman banjir dan longsor sangat mungkin terjadi di Kerinci maupun Sungai Penuh,” katanya.
Lebih jauh, Josse mendorong pemerintah daerah memperjelas batas kawasan hutan serta meningkatkan pengawasan di lapangan guna mencegah kerusakan lebih luas. Ia meyakini pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan menjadi kunci untuk mengurangi risiko bencana di masa mendatang.
Upaya mitigasi, tambahnya, harus melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya agar pemanfaatan lahan tetap sejalan dengan perlindungan ekosistem.(Dea)









