Klikinaja – Pemerintah Rusia tengah merancang aplikasi perpesanan baru buatan dalam negeri sebagai alternatif dari WhatsApp dan Telegram. Aplikasi ini digadang-gadang akan terintegrasi langsung dengan berbagai layanan publik milik pemerintah.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi digital Rusia yang menekankan pada kemandirian teknologi. Selama beberapa tahun terakhir, Moskow secara aktif berusaha mengurangi ketergantungannya terhadap layanan asing dan memperkuat kedaulatan digital nasional.
Meski Telegram diciptakan oleh Pavel Durov—warga kelahiran Rusia—ia telah lama meninggalkan negaranya dan kini dianggap tidak lagi sejalan dengan arah kebijakan pemerintah. Kondisi geopolitik juga mempercepat rencana ini. Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 yang lalu, banyak perusahaan teknologi Barat menghentikan operasinya di Rusia, sehingga mendorong negara tersebut untuk mencari solusi lokal.
Menurut Anton Gorelkin, Wakil Kepala Komite Kebijakan Informasi di parlemen Rusia, aplikasi perpesanan baru ini akan menyediakan fitur pengiriman pesan, panggilan suara, hingga layanan eksklusif yang tidak tersedia di WhatsApp maupun Telegram.
“Keunggulan utama platform ini adalah integrasi mendalam dengan layanan pemerintah,” jelas Gorelkin, dikutip dari Reuters, Rabu (11/6/2025).
Rancangan undang-undang mengenai pengembangan aplikasi ini saat ini masih harus disetujui oleh majelis tinggi parlemen dan memerlukan pengesahan Presiden Vladimir Putin sebelum dapat diberlakukan secara resmi.
Menteri Pengembangan Digital Rusia, Maksut Shadayev sebelumnya juga mengusulkan pemanfaatan aplikasi perpesanan lokal sebagai penghubung langsung dengan sistem layanan pemerintah. Ia bahkan menyampaikan bahwa Rusia masih tertinggal dalam hal transformasi digital di bandingkan dengan beberapa negara lainnya.
Shadayev memuji platform VK, perusahaan teknologi milik negara yang mengelola media sosial VKontakte yang kini menjangkau sekitar 80 juta pengguna aktif setiap harinya. Selain fitur jejaring sosial, VK juga menyediakan layanan VK Video sebagai pesaing YouTube lokal.
Sementara itu, popularitas YouTube di Rusia mengalami penurunan yang signifikan. Dari data sebelumnya 40 juta pengguna harian pada pertengahan 2024, kini hanya tersisa kurang dari 10 juta. Hal ini disebabkan oleh penurunan kecepatan akses yang menyulitkan pengguna untuk membuka platform tersebut.
Pemerintah Rusia menyalahkan Google atas kondisi ini dan menuding perusahaan teknologi asal AS itu gagal berinvestasi pada infrastruktur lokal dan menolak mengaktifkan kembali berbagai saluran milik Rusia yang telah di blokir. Google, di sisi lain, membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa kendala akses tidak disebabkan oleh pihaknya.
Di tengah dinamika ini, Mikhail Klimarev dari Internet Protection Society memperingatkan bahwa pemerintah mungkin akan memperlambat akses ke WhatsApp dan Telegram demi mendorong penggunaan aplikasi lokal. Namun, ia juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap kebebasan digital pengguna jika hal tersebut benar-benar dilakukan.
Langkah Rusia ini menjadi sorotan dunia sebagai contoh bagaimana sebuah negara mencoba membangun ekosistem teknologi tersendiri sekaligus menantang dominasi platform global. (Tim)