KLIKINAJA – Peredaran informasi palsu mengenai perubahan iklim bukan fenomena baru. Namun, meningkatnya perhatian global terhadap perundingan COP30 membuat konten sesat itu kembali viral dalam berbagai bahasa, mulai dari Inggris hingga Rusia. BBC merangkum lima klaim paling menonjol yang dibantah dengan bukti ilmiah.
1. Klaim: Perubahan Iklim Bukan Ulah Manusia
Narasi bahwa manusia tidak berperan dalam mengubah iklim terus bermunculan, sering kali memanfaatkan fakta bahwa bumi memang mengalami siklus pemanasan dan pendinginan sejak ribuan tahun lalu. Proses alami itu biasanya berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang—bahkan hingga jutaan tahun.
Namun, pemanasan dalam satu setengah abad terakhir berjalan jauh lebih cepat. Data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat suhu bumi meningkat sekitar 1,3°C sejak era praindustri. Laju perubahan yang sangat tinggi ini tidak pernah tercatat dalam sejarah modern.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menegaskan bahwa pemanasan saat ini “jelas” dipicu aktivitas manusia, terutama dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO₂) bekerja layaknya selimut yang memerangkap panas di atmosfer.
Joyce Kimutai, ilmuwan iklim dari Imperial College London, mengatakan bukti keterlibatan manusia terlihat konsisten pada seluruh sistem iklim. “Perubahan iklim bukan soal percaya atau tidak, melainkan soal data,” ujarnya.
2. Klaim: Dunia Sebenarnya Semakin Dingin
Cuaca dingin – misalnya di Kanada atau Polandia – kerap dijadikan alasan untuk menyebut pemanasan global sebagai kebohongan. Padahal, cuaca hanyalah kondisi jangka pendek, sedangkan iklim menggambarkan pola jangka panjang.
Catatan suhu global menunjukkan tren yang sangat berbeda. Menurut WMO, setiap dekade sejak 1980-an selalu lebih hangat dibanding dekade sebelumnya. Tahun 2024 bahkan tercatat sebagai tahun terpanas, dengan kenaikan suhu rata-rata sekitar 1,55°C dibanding akhir abad ke-19.
Joseph Basconcillo, pakar iklim dari Filipina, menjelaskan bahwa pendinginan lokal tidak meniadakan tren pemanasan global. Cuaca dingin ekstrem tetap dapat terjadi, tetapi frekuensinya tidak mengubah gambaran besar.
3. Klaim: CO₂ Bukan Polutan
Beberapa akun menyebarkan anggapan bahwa CO₂ hanyalah “makanan bagi tumbuhan” dan karenanya tidak mungkin membahayakan lingkungan. Memang benar, pada kadar normal, CO₂ berperan penting dalam proses fotosintesis dan menjaga keseimbangan suhu bumi.
Namun, konsentrasi CO₂ di atmosfer kini mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah pencatatan: 423 ppm pada 2024. Angka itu melonjak drastis dari sekitar 280 ppm pada tahun 1750, sebagian besar dipicu oleh aktivitas manusia.
Saat kadar CO₂ berlebihan, gas tersebut dikategorikan sebagai polutan karena memicu kerusakan ekosistem. Ahli ekologi Michelle Kalamandeen menjelaskan bahwa hutan lebih mudah terbakar, tanaman pangan rentan gagal panen, dan satwa liar kehilangan habitat karena perubahan lingkungan yang cepat.
IPCC menambahkan bahwa meski CO₂ tambahan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dalam kondisi tertentu, manfaat itu tidak sebanding dengan kerugian akibat kekeringan, panas ekstrem, dan berkurangnya ketersediaan air.
4. Klaim: Kebakaran Hutan Murni Akibat Pembakaran, Bukan Iklim
Setiap kali terjadi kebakaran besar—baik di Amerika Serikat, Turki, maupun Korea Selatan – narasi yang menyalahkan pelaku pembakaran langsung menyebar. Unggahan viral itu kerap digunakan untuk mengejek ilmuwan dan pihak yang mengaitkan kebakaran dengan perubahan iklim.
Padahal, para pakar menilai penyebab kebakaran hutan tidak dapat dipukul rata. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim menciptakan kondisi yang membuat kebakaran lebih mudah terjadi dan lebih sulit dipadamkan: musim kering panjang, panas ekstrem, dan angin kencang.
Dolores Armenteras, peneliti ekologi kebakaran dari Universitas Nasional Kolombia, menegaskan bahwa faktor pemicu seperti petir atau kelalaian manusia memang ada. Namun, iklim yang semakin panas memperbesar dampaknya. “Ini bukan persoalan memilih salah satu penyebab,” katanya. “Iklim yang berubah memperkuat setiap titik penyulut.”
IPCC mencatat wilayah seperti Eropa selatan dan Amerika Utara bagian barat kini mengalami “cuaca kebakaran” yang semakin sering dan intens.
5. Klaim: Cuaca Ekstrem Disebabkan Rekayasa Iklim
Hujan ekstrem, banjir besar, atau badai dahsyat sering dikaitkan dengan manipulasi cuaca. Ketika banjir melanda Dubai dan Valencia tahun lalu, sebagian pengguna internet cepat menyimpulkan bahwa penyemaian awan menjadi penyebabnya.
Manipulasi cuaca memang ada dan digunakan di lebih dari 30 negara, termasuk India dan Meksiko. Teknik yang paling umum adalah penyemaian awan menggunakan partikel perak iodida untuk meningkatkan peluang turunnya hujan. Namun, efeknya sangat lokal dan hanya berlangsung singkat.
Menurut Govindasamy Bala, profesor di Institut Sains India, teknik ini tidak dapat menjelaskan tren cuaca ekstrem yang berkembang selama beberapa dekade terakhir. Penelitian ilmiah terkait banjir Dubai pada 2024 bahkan menyimpulkan bahwa perubahan iklim sangat mungkin memperparah kejadian tersebut.
Sementara itu, iklim misalnya upaya memantulkan radiasi matahari dengan partikel tertentu – belum dilakukan secara luas. Penelitian yang ada pun masih pada tahap eksperimen kecil untuk menilai keamanan dan efektivitasnya.
Para ilmuwan sepakat bahwa gelombang panas, hujan ekstrem, hingga badai semakin intens akibat pemanasan global. Perubahan iklim, bukan rekayasa teknologi, adalah faktor utama yang mendorong meningkatnya kejadian cuaca ekstrem di berbagai kawasan.
Meluasnya misinformasi tentang perubahan iklim menjadi tantangan tersendiri di tengah upaya global mengurangi emisi. Para pakar menekankan perlunya literasi sains agar publik tidak terjebak klaim menyesatkan, terutama ketika dunia sedang bergerak memperlambat laju pemanasan planet.(Tim)









