KLIKINAJA – Ringgit Malaysia mencatat kinerja paling cemerlang di Asia pada 2025, sementara Selandia Baru menghadapi gelombang emigrasi besar-besaran akibat tekanan ekonomi. Dua perkembangan ini menjadi sorotan utama sepanjang Kamis (13/11).
Ringgit Malaysia Sentuh Level Tertinggi Dalam Empat Tahun
Ringgit Malaysia mencuri perhatian pasar keuangan regional setelah mencatat penguatan signifikan sepanjang tahun. Mata uang Negeri Jiran itu kini mendekati level tertinggi sejak hampir empat tahun terakhir, didorong oleh prospek ekonomi domestik yang terus membaik serta meredanya ketegangan perdagangan global.
Data yang dikutip Bloomberg menunjukkan para analis memperkirakan ringgit berpotensi menembus kisaran 4,1 per dolar AS. Jika tercapai, posisi tersebut akan menjadi yang terkuat sejak Mei 2021. Ekspektasi ini tumbuh seiring kebijakan suku bunga bank sentral Malaysia yang relatif stabil serta meningkatnya momentum pertumbuhan ekonomi.
Daya tarik ringgit juga diperkuat oleh derasnya aliran modal asing ke pasar surat utang. Hingga tahun ini, investor global telah mengakumulasi obligasi Malaysia hampir mencapai USD 4 miliar. Masuknya dana tersebut membantu memperkokoh likuiditas dan menambah kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi Malaysia.
Sebagai negara berbasis ekspor, Malaysia turut merasakan manfaat dari pulihnya permintaan global. Kinerja ekonomi kuartal ketiga bahkan melampaui ekspektasi sejumlah ekonom, menjadi sinyal positif bahwa pemulihan terus berlanjut.
Hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan China—dua mitra utama Malaysia—juga menunjukkan tanda-tanda mencair. Kondisi ini kembali menarik minat investor untuk menempatkan asetnya di kawasan Asia Tenggara. Strategi riset Maybank yang dipimpin Saktiandi Supaat menyebut sentimen terhadap ringgit masih dominan positif, ditopang besarnya simpanan valuta asing perusahaan yang berpotensi dikonversi ke ringgit.
Pada perdagangan Kamis (13/11) kemarin, ringgit stabil di kisaran 4,13 per dolar AS, mempertahankan tren penguatan yang telah berlangsung sepanjang tahun.
Eksodus Warga Selandia Baru Meningkat, Ekonomi Tertekan
Sementara itu, Selandia Baru dihadapkan pada persoalan berbeda. Negara tersebut mencatat arus keluar penduduk terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan Departemen Statistik di Wellington, sebanyak 72.684 warga meninggalkan Selandia Baru dalam periode 12 bulan hingga September 2025.
Mereka memilih pindah ke luar negeri untuk mencari penghasilan yang lebih layak, menyusul tekanan ekonomi dalam negeri yang tak kunjung mereda. Dari total tersebut, hanya 26.318 warga yang kembali, sehingga sekitar 46.366 orang masih bermukim di luar negeri.
Meski pekerja asing yang masuk ke Selandia Baru bertambah sekitar 12.434 orang dibandingkan tahun sebelumnya, angka itu masih jauh di bawah puncak 2023 yang sempat menembus 135.529 orang. Tren ini menunjukkan bahwa ketertarikan tenaga kerja global terhadap Selandia Baru juga ikut melemah.
Ekonomi Selandia Baru mengalami penyusutan pada paruh pertama 2025. Para ekonom memperingatkan bahwa pemulihan pada semester kedua kemungkinan berjalan lambat, mengingat pasar tenaga kerja yang kurang menyerap pekerja baru serta meningkatnya tingkat pengangguran.
Australia menjadi tujuan favorit warga Selandia Baru yang memutuskan hengkang. Statistik hingga akhir Maret 2025 mencatat sekitar 58 persen emigran memilih Negeri Kanguru sebagai tempat bermukim dan bekerja.
Fenomena eksodus ini memicu tekanan politik terhadap Perdana Menteri Christopher Luxon. Pemerintahan sayap kanan yang ia pimpin sebelumnya mengklaim kondisi ekonomi mulai membaik, namun data terbaru menunjukkan situasi sebaliknya. Penurunan kepercayaan publik terlihat dalam hasil survei jelang pemilu 2026.
Penguatan ringgit dan meningkatnya arus migrasi dari Selandia Baru menegaskan perbedaan dinamika ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. Malaysia menikmati sentimen positif dari pasar global, sementara Selandia Baru harus menghadapi tantangan serius terkait stabilitas ekonomi dan mobilitas tenaga kerjanya.(Tim)









