KLIKINAJA – Popularitas game berbasis battle royale seperti Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) tidak hanya membawa tren baru di kalangan pelajar, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap psikologi anak. Pakar Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Holy Ichda Wahyuni, menegaskan bahwa anak merupakan kelompok yang sangat responsif terhadap rangsangan visual dan mudah meniru perilaku yang mereka lihat.
Menurut Holy, proses peniruan tersebut sejalan dengan teori Social Learning yang dicetuskan Albert Bandura. Dalam konsep itu, anak belajar melalui observasi dan modeling. Ketika mereka menyaksikan karakter dalam game memperoleh poin atau kemenangan lewat tindakan agresif, perilaku tersebut dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan positif.
Holy menjelaskan, paparan berkepanjangan tanpa kontrol orang tua dapat menurunkan sensitivitas emosional anak. “Jika dibiarkan, empati bisa berkurang dan toleransi terhadap kekerasan meningkat,” tuturnya. Meski begitu, ia menekankan bahwa dampaknya tidak bersifat seragam. Faktor internal dan eksternal, mulai dari kualitas hubungan keluarga hingga perkembangan kognitif, menjadi penentu seberapa besar game memengaruhi perilaku anak.
Ia menambahkan, anak yang tumbuh tanpa figur teladan atau pola asuh yang empatik jauh lebih rentan menjadikan game sebagai sarana pelarian. Hal ini terutama terlihat pada fase pencarian jati diri, ketika mereka membutuhkan pengakuan dan rasa diterima. Fenomena tersebut, kata Holy, mirip tren Power Rangers di masa lalu yang membuat anak meniru adegan aksi, tetapi kini perbedaannya terletak pada posisi anak sebagai pemain aktif dalam game.
Mengenai wacana pelarangan game PUBG, Holy menilai kebijakan tersebut hanya bekerja sebagai langkah jangka pendek. Pendekatan edukatif dipandang lebih efektif untuk membangun kesadaran anak mengenai nilai moral, empati, dan konsekuensi dari tindakan mereka di ruang digital. Literasi digital, ujarnya, harus diberikan sejak dini agar anak mampu membedakan dunia virtual dan kenyataan.
Holy juga menyoroti peran penting keluarga dalam membentuk budaya bermain yang sehat. Pembatasan waktu bermain dianggap belum cukup. Orang tua perlu memahami isi game yang dimainkan anak dan menjadikan percakapan tentang nilai moral sebagai bagian dari rutinitas pengasuhan. Dalam penelitiannya, Holy menyebut model ini sebagai “parent collaborative” yang mengedepankan dialog dan pengasuhan empatik.
Tak hanya keluarga, sekolah pun memiliki peran krusial. Institusi pendidikan, menurut Holy, dapat membekali siswa dengan literasi digital, kesadaran etika bermedia, hingga keterampilan mengelola emosi. Ia merujuk teori ekologi perkembangan Urie Bronfenbrenner yang menyebut bahwa anak berkembang di dalam sistem yang saling berinteraksi keluarga, sekolah, masyarakat, hingga kebijakan pemerintah.
Karena itu, ia mendorong adanya kerja sama lintas pihak. Pemerintah perlu memastikan regulasi dan rating usia game diterapkan dengan ketat. Di sisi lain, sekolah dapat mengintegrasikan pendidikan karakter digital ke dalam kurikulum, sementara orang tua memperkuat komunikasi dan pengawasan di rumah.
Holy menutup dengan menegaskan bahwa potensi negatif game bukan berarti harus dihindari sepenuhnya. “Jika semua sistem bergerak bersama, kita tidak hanya mencegah dampak buruk, tetapi juga memanfaatkan game untuk mengembangkan kreativitas, kecerdasan digital, dan empati anak,” ujarnya.
Diskusi mengenai dampak PUBG diperkirakan terus bergulir, terutama di tengah meningkatnya aktivitas digital anak. Kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan pemerintah menjadi kunci menciptakan lingkungan bermain yang aman sekaligus produktif.(Tim)









