Klikinaja, Jakarta – Film Jodoh 3 Bujang tidak hanya menyuguhkan alur cerita komedi romantis, tetapi juga memperkenalkan budaya Makassar-Bugis secara mendalam. Dalam film ini, penonton akan disuguhkan berbagai unsur lokal seperti adat istiadat, bahasa daerah, serta nilai-nilai tradisional masyarakat Makassar yang kental terasa di setiap adegannya.
Namun di balik layar, para pemain harus melewati proses yang tidak mudah. Banyak di antara mereka yang bukan berasal dari daerah tersebut sehingga harus beradaptasi dan belajar ekstra agar bisa membawakan karakter secara total dan meyakinkan.
Salah satu pemeran utama, Aisha Nurra Datau—akrab disapa Nurra—mengaku menghadapi tantangan besar. Ia memerankan karakter Rifa, seorang perempuan Makassar yang berasal dari keluarga terpandang dan memiliki latar belakang pendidikan tinggi.
Meskipun tidak memiliki darah Bugis atau Makassar, Nurra tetap berusaha dengan keras agar bisa berbicara dan bersikap seperti layaknya orang Makassar asli. Lucunya, salah satu metode belajarnya justru datang secara tak terduga dari resepsionis hotel tempat ia menginap selama syuting.
“Aku sampai minta tolong ke resepsionis hotel, minta agar diajarin logat bahasa Makassar. Dia bantu aku buat skrip kecil, lalu aku latihan,” cerita Nurra dalam konferensi pers film Jodoh 3 Bujang yang digelar di Jakarta pada Kamis (19/6/2025).
Ia bahkan menyebut sang resepsionis sebagai “guru bahasa Makassar-nya” karena banyak memberikan masukan soal pengucapan dan intonasi yang lebih natural. Menurutnya, pengalaman belajar membawakan bahasa secara langsung dengan warga lokal sangat berkesan dan menyenangkan.
Berbeda dengan Nurra, aktor Jourdy Pranata mendapat pelatihan bahasa secara resmi sebelum proses syuting dimulai. Selama kurang lebih tiga minggu, seluruh pemain yang bukan berasal dari Makassar mendapat pelatihan khusus mengenai logat dan aksen khas daerah tersebut.
“Kita dapat kesempatan untuk belajar langsung dari orang Makassar, termasuk aksen, nada bicara, dan gaya bahasa anak muda sana. Itu dilatih bersamaan dengan sesi reading naskah,” ujar Jourdy.
Ia juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran lawan main seperti Maizura, serta sutradara Arfan Sabran, yang keduanya berasal dari Makassar. Mereka kerap memberikan masukan agar gaya dan cara bicara para aktor dapat terdengar alami.
“Kadang kita pengucapannya masih kaku. Tapi Maizura bantu kasih masukan, misalnya bilang ‘anak muda di sini gak ngomong kayak gitu, tapi begini’,” imbuhnya sambil tertawa.
Selama satu bulan menjalani proses syuting di Makassar, para pemain mengalami pembelajaran budaya yang begitu intens. Bahkan, tanpa disadari, mereka mulai terbiasa menggunakan bahasa Makassar dalam percakapan sehari-hari.
“Kami sangat sering ngobrol dengan tim lokal, seperti sopir dan penjaga hotel. Lama-lama jadi kebiasaan. Nurra sampai ngobrol sama petugas hotel dengan menggunakan bahasa Makassar,” ungkap Jourdy.
Pengalaman ini menjadi bukti bahwa film bukan hanya media hiburan, tapi juga sarana mengenal lebih dekat kekayaan budaya Indonesia.
Dengan hadirnya film Jodoh 3 Bujang ini di harapkan industri perfilman Indonesia kembali menampilkan keindahan budaya daerah yang kerap luput dari perhatian masyarakat luas. Tidak hanya dari sisi visual atau latar tempatnya saja, namun juga dalam hal penggunaan bahasa dan nilai adat yang tetap dipertahankan secara otentik.
Film ini tidak hanya menjadi tantangan bagi para aktornya, tetapi juga menjadi sarana edukatif bagi penonton, khususnya generasi muda, untuk lebih mengenal dan menghargai warisan budaya bangsa.
Yuk Dukung Film Lokal!
Keberhasilan Jodoh 3 Bujang dalam menghadirkan cerita yang sarat budaya lokal patut diapresiasi. Film ini bukan hanya menyuguhkan sisi hiburan saja, melainkan juga menyampaikan pesan penting tentang keberagaman budaya Indonesia.
👉 Yuk, dukung perfilman Indonesia dengan menonton film Jodoh 3 Bujang di bioskop kesayangan Anda! Jangan lupa bagikan artikel ini dan baca juga konten menarik lainnya seputar budaya dan hiburan lokal. (Tim)