KLIKINAJA, JAMBI – Pemerintah Provinsi Jambi mengajukan penetapan sembilan kawasan hutan adat baru seluas hampir seribu hektare di Kabupaten Sarolangun. Pengajuan ini menambah daftar hutan adat yang telah diakui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang kini berjumlah 29 lokasi di seluruh provinsi.
Upaya memperluas pengakuan hutan adat di Jambi terus berlanjut. Pemerintah Provinsi Jambi bersama sejumlah lembaga terkait tengah memproses sembilan usulan baru dari Kabupaten Sarolangun yang mencakup lahan seluas 979 hektare di Kecamatan Batang Asai dan Limun.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Andri Yushar, mengatakan proses verifikasi teknis sudah dilaksanakan oleh tim terpadu. Tim tersebut melibatkan berbagai pihak, mulai dari unsur kementerian hingga perguruan tinggi dan lembaga pendamping.
“Kami aktif berpartisipasi dalam tim verifikasi usulan hutan adat serta memfasilitasi proses pengajuan dari masyarakat,” ujarnya, Minggu (9/11/2025).
Proses pemeriksaan kelayakan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA). Selain itu, verifikasi juga melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Pemerintah Kabupaten Sarolangun, Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Pangkal Pinang Unit XIII, Universitas Jambi, serta sejumlah organisasi masyarakat sipil yang mendampingi komunitas adat.
Saat ini, Provinsi Jambi telah memiliki 29 Surat Keputusan (SK) penetapan hutan adat dari KLHK. Lokasi-lokasi tersebut tersebar di beberapa kabupaten, yaitu Kerinci (12 lokasi), Sarolangun (7 lokasi), serta masing-masing 5 lokasi di Bungo dan Merangin.
Secara keseluruhan, luas hutan adat di Jambi telah mencapai 7.982,5 hektare. Dari jumlah itu, sekitar 6.822,5 hektare berada di wilayah Areal Penggunaan Lain (APL), sementara 1.136 hektare lainnya termasuk kawasan hutan.
Menurut Andri, keberadaan hutan adat memiliki arti strategis dalam menjaga keseimbangan lingkungan sekaligus memperkuat peran masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah daerah, kata dia, terus mendorong penguatan kelembagaan hukum adat agar keberlanjutan hutan tetap terjaga.
“Melalui KPHP, kami berupaya mendorong pemerintah kabupaten menerbitkan peraturan daerah dan keputusan bupati tentang pengakuan serta perlindungan masyarakat adat,” jelasnya. Ia menambahkan, pendampingan juga dilakukan melalui diskusi hukum adat, penyelesaian konflik, hingga pelatihan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal.
Andri menegaskan, hutan adat merupakan bagian dari skema perhutanan sosial yang diatur negara dan dikelola oleh masyarakat hukum adat. Karena itu, katanya, kawasan tersebut perlu dijaga kelestariannya agar tetap memberi manfaat ekologis dan ekonomi bagi generasi mendatang.(Dea)









