Klikinaja – Fenomena job mismatch atau ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan dengan kebutuhan industri, semakin menjadi sorotan di Indonesia. Human Resources Department (HRD) Jakarta, Mohamad Dawam Malafi, menilai situasi ini kian kompleks seiring dengan cepatnya perkembangan dunia kerja.
Menurutnya, banyak lulusan perguruan tinggi menghadapi kesulitan beradaptasi karena jurusan kuliah yang mereka pilih tidak sejalan dengan kebutuhan nyata industri. Kondisi ini di perparah oleh keterbatasan lapangan pekerjaan yang membuat persaingan semakin ketat.
Dawam menekankan bahwa sistem pendidikan masih menitikberatkan pada teori akademis. Sementara itu, dunia industri bergerak dinamis dan lebih membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan praktis.
“Banyak bidang baru seperti data analyst atau content creator tidak masuk dalam kurikulum formal kampus. Padahal, industri menuntut tenaga kerja yang siap pakai,” jelasnya.
Fenomena ini bukan sekadar soal salah jurusan, tetapi juga mencerminkan adanya kesenjangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan nyata dunia usaha.
Selain ketidaksesuaian kurikulum, faktor ekonomi juga turut mendorong job mismatch. Banyak lulusan memilih pekerjaan yang berbeda jauh dari jurusan aslinya karena alasan gaji.
Dawam menuturkan, tidak sedikit sarjana yang akhirnya beralih profesi karena pendapatan di bidang sesuai jurusannya di anggap tidak mencukupi. Kondisi ini wajar terjadi mengingat kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara kesejahteraan di beberapa sektor belum memadai.
Meski demikian, Dawam menekankan bahwa perusahaan tidak selalu mempermasalahkan perbedaan latar belakang pendidikan kandidat dengan posisi yang di lamar.
“Perusahaan lebih menekankan skill, knowledge, dan attitude. Tiga hal ini selalu menjadi tolok ukur utama dalam proses rekrutmen,” ujarnya.
Artinya, meskipun jurusan kuliah tidak relevan, peluang tetap terbuka bagi mereka yang mau mengasah keterampilan, membangun pengalaman relevan, serta menunjukkan etos kerja yang baik.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, Dawam menilai perlu adanya kerjasama erat antara dunia pendidikan, pemerintah, dan pelaku industri. Menurutnya, kurikulum perguruan tinggi perlu di perbaharui agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.
“Peningkatan kompetensi, pembelajaran berbasis proyek, serta portofolio praktis sejak di bangku kuliah adalah kunci menghadapi pasar kerja yang kompetitif,” tegasnya.
Selain itu, program magang, pelatihan vokasi, dan sertifikasi profesi juga harus di perluas agar lulusan memiliki bekal yang lebih siap terjun ke dunia kerja.
Fenomena job mismatch semakin terlihat jelas di tengah berkembangnya profesi baru di era digital. Pekerjaan seperti analis data, pengembang aplikasi, spesialis keamanan siber, hingga kreator konten digital menjadi incaran perusahaan.
Sayangnya, tidak semua perguruan tinggi mampu menyiapkan mahasiswa untuk menghadapi profesi-profesi tersebut. Akibatnya, banyak lulusan terpaksa belajar secara otodidak atau mengikuti kursus tambahan di luar kampus.
Apabila tidak segera di tangani, job mismatch dapat menimbulkan dampak serius bagi perekonomian Indonesia. Produktivitas tenaga kerja bisa menurun karena banyak lulusan bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan kompetensi inti mereka.
Selain itu, ketidakpuasan kerja dapat memicu tingginya angka turnover karyawan. Perusahaan pun akan di rugikan karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk rekrutmen dan pelatihan ulang.
Meski fenomena ini bersifat sistemik, individu juga bisa mengambil langkah untuk meminimalisir dampaknya. Beberapa strategi yang dapat di lakukan antara lain:
-
Meningkatkan keterampilan tambahan melalui kursus daring, pelatihan, atau sertifikasi.
-
Membangun portofolio nyata, misalnya dengan proyek pribadi atau magang.
-
Mengasah kemampuan komunikasi dan kerja tim, karena keterampilan ini sangat di cari industri.
-
Fleksibel terhadap perubahan, dengan berani mencoba bidang baru yang sedang berkembang.
Dengan langkah tersebut, lulusan dapat lebih siap menghadapi tantangan dunia kerja yang cepat berubah.
Dawam optimistis, jika sinergi antara kampus, pemerintah, dan dunia usaha benar-benar berjalan, maka masalah job mismatch di Indonesia bisa di kurangi.
Ia menegaskan bahwa transformasi pendidikan nasional harus memasukkan unsur lingkungan kerja nyata agar lulusan tidak lagi terjebak dalam kesenjangan keterampilan.
“Generasi muda harus di bekali pengetahuan sekaligus sikap kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hanya dengan begitu mereka bisa menjadi tenaga kerja unggul yang membawa Indonesia lebih maju,” pungkasnya.
Fenomena job mismatch di Indonesia bukan sekadar masalah klasik antara lulusan dan industri, tetapi sudah menjadi tantangan serius yang menyangkut masa depan tenaga kerja nasional. Solusi jangka panjang memerlukan sinergi lintas sektor: dunia pendidikan yang adaptif, industri yang terbuka, dan pemerintah yang mendukung.
Sementara itu, individu juga harus aktif meningkatkan keterampilan agar tetap relevan. Dengan langkah kolektif tersebut, di harapkan generasi muda Indonesia mampu menjawab tantangan global dan menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. (Tim)