Klikinaja, Jakarta – Media sosial akhir-akhir ini penuh dengan satu tagar yang bikin mikir: #KaburAjaDulu. Awalnya terdengar lucu. Tapi makin lama, jadi kayak tamparan realitas yang pahit tapi jujur.
Tagar ini muncul dari suara generasi muda yang mulai bertanya: “Kenapa hidup di negeri sendiri rasanya makin berat, ya?”
Daripada terus berjibaku dengan tekanan finansial, birokrasi ribet, dan peluang yang makin sempit, banyak anak muda justru mulai menengok ke luar negeri. Bukan buat liburan. Tapi buat hidup, belajar, kerja, bahkan menetap disana.
Realita di Balik Hashtag
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Di dunia akademik, dikenal dengan istilah brain drain: saat sumber daya manusia unggul memilih “hijrah” ke negara lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Tapi kini, tren ini makin pop. #KaburAjaDulu menjadi simbol sebuah kekecewaan yang dikemas dengan gaya humor satir khas Gen Z. yang isinya? Curhatan nyata tentang betapa melelahkannya hidup di kota besar dengan gaji UMR,mahalnya biaya hidup dan minimnya pengakuan atas kompetensi.
“Udah capek-capek kuliah S2, eee…, balik ke sini malah disuruh magang dulu,” tulis salah satu warganet yang curhat pengalamannya di X.
Kenapa Mereka Pergi?
Bukan semata soal duit, lho. Banyak yang pergi karena merasa sistemnya ngga mendukung. Meritokrasi masih jadi sebuah angan-angan,kreativitas dibenturkan dengan birokrasi, dan ruang tumbuh seolah cuma milik “orang dalam”.
Kalau ditanya, hampir semua dari mereka pasti akan bilang mereka masih cinta Indonesia. Tapi saat pilihan antara bertahan atau berkembang semakin sempit, “kabur” bukan lagi sebuah bentuk pengkhianatan. Itu pilihan rasional.
Negara Perlu Dengar, Bukan Marah
Fenomena #KaburAjaDulu sebenarnya bukan ajakan untuk eksodus massal. Ini alarm keras yang seharusnya bikin pembuat kebijakan berhenti menutup telinga.
Anak muda butuh ruang, bukan hanya slogan. Mereka ingin didengar, diberdayakan, dan diakui.
Program beasiswa,insentif diaspora dan promosi investasi digital keren tapi tanpa perbaikan sistem yang real, itu semua hanya tambal sulam.
Apa Solusinya?
-
Bikin sistem kerja yang lebih fair dan terbuka untuk semua kalangan.
-
Naikkan standar gaji dan tunjangan, terutama di sektor publik dan kreatif.
-
Beri ruang bagi inovasi tanpa harus “izin ke 7 instansi dulu”.
-
Hargai ide, bukan hanya senioritas.
Jadi, kalau kamu melihat fenomena #KaburAjaDulu di timeline, jangan langsung nge-judge. Mungkin itu cuma cara anak muda untuk menyuarakan kegelisahannya dan satu hal sederhana: “Kami pengin hidup lebih waras.”
Indonesia harusnya bisa menjadi rumah yang ramah untuk semua, bukan cuma buat yang punya akses dan koneksi saja. (End)