KLIKINAJA – Ribuan warga yang bermukim di kawasan seluas 1.400 hektare di Kota Jambi kini hidup dalam ketidakpastian setelah wilayah tempat mereka tinggal ditetapkan sebagai zona merah oleh Pertamina Hulu Rokan. Anggota DPR RI asal Jambi, Sy Fasha, meminta Pertamina memberikan klarifikasi terbuka mengenai status tanah yang sudah dihuni masyarakat selama puluhan tahun tersebut.
Menurut Fasha, penetapan zona merah yang melarang adanya permukiman itu memicu keresahan massal, terutama karena sebagian besar warga merupakan pensiunan Pertamina dan keluarganya. Mereka telah menetap di area tersebut sejak dulu, bahkan sejumlah bidang tanah di kawasan itu telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Warga Panik Setelah Penetapan Zona Merah
Fasha menuturkan bahwa langkah Pertamina menetapkan area tersebut sebagai zona terlarang baru dilakukan dalam beberapa bulan terakhir. Sementara itu, proses penerbitan sertifikat oleh BPN sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu, sehingga keputusan tersebut dinilai janggal dan menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.
“Warga tinggal di sana bukan semata-mata menempati lahan negara secara ilegal. Dahulu kawasan itu memang dibuka untuk karyawan. Ketika BPN mengeluarkan sertifikat, mereka mengurusnya sesuai prosedur. Sekarang tiba-tiba disebut zona merah. Tentu warga cemas,” ujar Fasha dalam rapat dengar pendapat bersama Pertamina.
Ia menambahkan, kondisi tersebut menjadi semakin rumit karena peta zona merah yang dipakai sebagai dasar kebijakan baru disusun pada 2022. Padahal, jika peta itu dibuat lebih awal, tumpang tindih antara status aset negara dan penerbitan SHM dapat dihindari.
Berpotensi Timbulkan Konflik Sosial
Fasha menilai ketidakjelasan status lahan ini dapat berkembang menjadi persoalan sosial yang lebih besar. Ribuan keluarga sudah menata kehidupan di kawasan tersebut, membangun rumah, serta menetap dari generasi ke generasi. Karena itu, perubahan status yang mendadak berpotensi memicu gesekan antara warga dan perusahaan.
“Kita harus menghindari konflik. Jangan sampai masyarakat yang sudah lama tinggal justru diperlakukan secara tidak adil. Pemerintah perlu turun tangan memastikan hak mereka tidak diabaikan,” tegasnya.
Koordinasi Antarinstansi Dianggap Kunci Penyelesaian
Mengacu pada informasi awal, lahan yang disengketakan merupakan aset negara yang berada di bawah pengelolaan Pertamina. Karena itu, Fasha menilai penting adanya koordinasi baik antara Pertamina dan Kementerian Keuangan sebelum menetapkan kebijakan terkait lahan tersebut.
Ia mengusulkan agar pemerintah dan Pertamina menyiapkan skema penyelesaian yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Jika memungkinkan, sebagian lahan dapat dibebaskan atau dihibahkan kepada warga agar mereka memiliki kepastian hukum atas tempat tinggalnya.
“Kalau Pertamina ingin melepas sebagian area, perlu pembicaraan dengan Menteri Keuangan. Jangan sampai masyarakat dirugikan. Mereka hanya ingin kepastian bisa tinggal dengan aman,” jelasnya.
DPR RI Siap Mengawal Hingga Tuntas
Fasha memastikan DPR RI akan terus memantau perkembangan kasus ini agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan persoalan baru. Ia menegaskan bahwa penyelesaian harus dilakukan secara transparan, melibatkan seluruh pihak terkait, serta memberi kepastian hukum bagi warga.
Dengan adanya pengawasan dari parlemen, Fasha berharap konflik lahan ini dapat diakhiri melalui solusi yang adil dan manusiawi tanpa merugikan masyarakat yang telah lama menempati kawasan tersebut.(Tim)









